Rakyat Sebagai Pemangku Kekuasaan Tertinggi

Oleh : Taufik Halim Pranata

JambiOnline.id - Hari ini kita masih terbangun di atas bumi yang sama, tempat yang sama, di tanah ibu pertiwi. Hidup terasa berlajan baik-baik saja, tenang dan damai, aku masih sempat untuk menikmati kopi di pagi ini. Matahari yang mulai kian naik dan terasa lebih hangat, seiring dengan itu permasalahan dalam kehidupan pun mencuat ke permukaan pikiran saling berdesakan untuk segera dihadapi atau ditinggalkan saja dengan acuh. Permasalahan yang datang bisa seperti persoalan hidup pribadi ataupun permasalahan sosial. Untuk permasalahan pribadi saya percaya bahwa diri sendiri pun mampu untuk mengatasinya, namun masalah yang menyangkut masyarakat umum atau orang banyak sering kita tinggalkan dan acuhkan saja. Seperti kelaparan, kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang tidak merata, sampai dengan korupsi para pejabat dan koorporat yang menjadikan rakyat sengsara. Padahal permasalahan yang menyangkut sosial kepentingan orang banyak, juga adalah masalah besar untuk kita sendiri, yang jika tidak dipedulikan justru berdampak pada kehidupan kita jangka panjang dan masa depan kita, maupun orang-orang yang kita sayangi semua tergantung dari bagaimana mengatasi permasalahan sosial tersebut.

Permasalahan sosial yang kita alami di negeri ini tentu tidak lepas dari peran para pejabat pemerintah, yang di sistem demokrasi kita telah memilih orang-orang yang kita percayai dapat mencarikan solusi dari permasalahan sosial yang ada. Karena tidak semua orang dapat mencari solusi dari permasalahan sosial tersebut. Oleh karenanya kita dalam lima tahun sekali memilih wakil-wakil kita yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk diamanahkan mengatasi permasalahan sosial yang kita hadapi bersama.

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Legislatif yang menurut Prof. Dr. Jimly  Asshiddiqie, S.H memiliki tiga fungsi yaitu: Pertama, Fungsi Pengaturan (legislasi) berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum dimaksud. Kedua, Fungsi Pengawasan (control) Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam mengawasi proses perumusan dan penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama dengan pemerintah. Ketiga, Fungsi Perwakilan (representasi) yang merupakan fungsi yang paling pokok dari ketiga fungsi tersebut yaitu mewakili Rakyat. (Asshiddiqie, 2006)

Keterwakilan yang pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan keterwakilan kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea. Inilah yang terpenting selain keterwakilan secara fisik saja anggota DPR hadir di parlemen. Untuk menjamin keterwakilan substantif itu, prinsip perwakilan dianggap tidak cukup hanya apabila sesuatu pendapat rakyat sudah disampaikan secara resmi ke lembaga perwakilan rakyat. Untuk menjamin hal itu,  masih diperlukan kemerdekaan pers, kebebasan untuk berdemo atau berunjuk rasa, dan bahkan hak mogok bagi buruh, dan sebagainya. Sehingga keterwakilan formal di parlemen itu dapat dilengkapi secara substantif. (Asshiddiqie, 2006)

Bukan hanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih oleh rakyat secara langsung untuk menyuarakan aspirasi dari rakyat. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan telah dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai pengemban amanah untuk menjalankan pemerintahan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Sistem pemerintahan negara indonesia yang menganut sistem presidensil sesuai dengan yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Kemudian hak Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dalam hal kegentingan memaksa, Presiden berhak untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Kegentingan yang memaksa berdasarkan penelitian dosen Universitas Atma Jaya Jakarta, Daniel Yusmic, berkesimpulan bahwa kegentingan memaksa merupakan subjektif Presiden. Terkait dengan kegentingan kondisi keutuhan negara.
Melihat kondisi sekarang yang terjadi semejak berlangsungnya periode kedua Pemerintahan Jokowi, dilihat dari Produk Hukum dan Penegakan Hukum menuai banyak kontroversi dimata masyarakat, mulai dari isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang kian buram dapat dilihat dari kemajuan penanganan kasus-kasus HAM berat yang tidak menemui titik terang, sampai pada produk hukum yang kontroversi Seperti Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang merupakan Undang-Undang sapu jagat untuk mengundang para investor dinilai dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Namun penetapan Undang-Undang ini yang paling banyak mendapat kecaman dari rakyat bahkan dari pekerja itu sendiri yang katanya Undang-Undang ini baik untuk tenaga kerja namun malah penolakan itu disulut oleh kaum buruh. Yang mana harusnya Presiden dapat mengambil sikap langsung dan tegas mengenai hal permasalahan ini baik dengan pernyataan bahkan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Mengingat kembali pada Produk Hukum sebelumnya yang mendapat kecaman penolakan yang keras yaitu Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai melemahkan dan mengamputasi KPK sebagai lembaga yang paling ditakuti oleh para koruptor, karena salah satunya pembentukan organ Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan perizinan terhadap Penyidik untuk melakukan penyidikan, yang seharusnya dilakukan secara independen bebas dari pengaruh manapun. Undang-Undang KPK yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat dan akademisi yang ahli dibidangnya, bukan menjadi pertimbangan DPR untuk menimbang dan membahasnya kembali tapi Undang-Undang ini berjalan mulus sampai pada ketok palu. Kemudian, rakyat tidak surut harapan untuk meminta Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang diamanahkan oleh rakyat, untuk tidak menyetujui undang-undang KPK, dalam hal ini Presiden enggan menandatangani Undang-Undang tersebut, yang berakibat apabila setelah 30 hari tidak ditanggapi Presiden, berdasarkan peraturan perundang-undangan Undang-Undang tersebut otomatis berlaku. Kemudian, Presiden juga diminta mengeluarkan Perpu untuk membatalkan Undang-Undang KPK, namun kebijakan ini tidak juga diterbitkan.

Berbeda dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang juga menuai kritik dan penolakan besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat di setiap daerah, malah didukung oleh Presiden melalui statement langsung pada pidato presiden, meski Presiden tidak mau menghadiri dan berdialog dengan pendemo dari berbagai kalangan. Padahal dengan dialog Presiden turun membersamai massa aksi tentu akan meredakan suasana yang kacau di berbagai daerah. DPR yang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang secara langsung mewakili suara rakyat sudah tidak mendengar, tuli dengan apa yang disuarakan oleh rakyat. Mereka lebih mendengar apa perintah dan arahan partai masing-masing padahal untuk mereka dapat duduk memangku jabatannya dipilih langsung oleh rakyat, inilah benih-benih rusaknya demokrasi kita.

Kini Rakyat tinggal hanya berharap pada Presiden untuk sedikit mendengar dan berdialog dengan rakyatnya, karna Presiden juga secara langsung dipilih oleh rakyat diamanahkan untuk memegang kekuasaan tertinggi di Negara ini. Dengarlah suara-suara Rakyatmu bukan Partaimu! Jabatan Presiden maupun DPR ketika telah memangku jabatan itu merupakan amanah yang diberikan oleh Rakyat, itu merupakan jabatan Rakyat. Jadi sekali lagi kesampingkan dulu kepentingan Partai. Perjuangkan suara Rakyat, niscaya Rakyat akan selalu bersama Pemimpin dan Wakil-wakilnya yang adil. Nasib rakyat telah digadaikan kepada kalian para penguasa negeri ini, jika kalian sudah tidak satu nafas juga dengan suara rakyat yang tertindas, dalam memimpin negeri ini, tunggulah penghakiman dari mereka. Pada akhirnya kesewenang-wenangan maupun ketidakadilan para Penguasa adalah tanggung jawab Rakyat untuk melawan dan menundukkan para wakilnya yang berkhianat.
Lebih baru Lebih lama